Oleh Rahmad Ariadi
Mungkin hampir semua orang tahu bahwa suatu tindakan manusia (bergerak dalam bentuk apapun, berbicara bahkan diam) diluar gerak reflek(denyut jantung, gerak napas dan gerakan lain semacamnya) adalah sebuah manifestasi dari kesimpulan hasil analisis pikiran atau penalaran terhadap berbagai asupan informasi yang masuk kedalam otak kita. Akan tetapi, tidak semua orang tahu bahwa ketepatan kesimpulan yang diambil pada dasarnya sangat bergantung pada ketajaman analisis (kekritisan kita menelaah informasi) dimana ketajaman ini sangat bergantung pada beberapa hal.
Pertama, kemauan kita untuk mendapatkan atau mengumpulkan informasi atau data selengkap mungkin. Kelemahan penalaran manusia sekarang, menurut penulis, salah satunya adalah disebabkan oleh faktor ini yang sebenarnya menjadi paradoks bila dihadapkan pada kenyataan bahwa sangatlah mudah bagi setiap orang untuk mendapatkan informasi di masa sekarang. Bila kita telisik lebih jauh, kelemahan pada titik ini bukan disebabkan oleh lemahnya kita mengumpulkan informasi atau kurangnya ketersediaan informasi akan tetapi lebih disebabkan oleh ketidakmauan kita untuk berfikir secara obyektif dan mendalam terhadap informasi-informasi yang tersedia sebelum kita menyimpulkannya. Sebagai contoh sederhana, kita bertemu dengan orang yang belum kita kenal yang kebetulan profilnya tidak kita sukai (kriteria profil yang disukai atau tidak setiap manusia berbeda-beda tentunya), pada saat itulah kita merasa enggan untuk berinteraksi dengan orang tersebut. Ketika kita berhenti pada titik ini dan menghindar, maka kita telah melakukan suatu tindakan dari hasil kesimpulan yang didasarkan atas pertimbangan terhadap kesukaan atau ketidak sukaan kita atas profil seseorang.
Aksi ini tentunya kemudian berakibat pada ketidakkenalan kita tentang orang tersebut secara benar. Apabila kita mau menerobos sekat perasaan suka atau tidak suka kita dan melakukan interaksi lebih jauh, hasilnya pasti berbeda seberapapun prosentasenya. Itulah mengapa sekarang ini banyak orang salah dalam mengambil kesimpulan terhadap sesuatu dan meneruskannya menjadi sebuah tindakan yang salah pula bukan karena informasi yang tidak tersedia tetapi lebih pada suka atau tidaknya kita atas informasi tersebut. Ini menjadi salah satu penyebab tumpulnya penalaran kita.
Kedua, kehidupan yang serba mudah(baca: instant) juga menjadi faktor tersendiri atas mandeg-nya sebuah penalaran manusia. Mari kita renungi pepatah kita yang menyatakan berakit-rakit ke hulu berenang renag ketepian, bersakit sakit dahulu bersenang senang kemudian. Pepatah ini bila kita telaah secara mendalam akan menghasilkan batasan yang luas mengenai ungkapan bersakit-sakit dahulu bersenang-senag kemudian. Atau bila dijabarkan adalah disetiap kesulitan yang kita tempuh(bila sabar, tekun dan sungguh-sungguh untuk mengatasinya) akan menghasilkan pelajaran tersendiri yang pada gilirannya pelajaran ini memandu kita menggapai keberhasilan.
Hal ini berlaku di bidang apapun. Terus apa hubungannya dengan tumpulnya penalaran? Nah, kemudahan-kemudahan (baca: hal-hal yang bersifat instant) hari ini dalam kehidupan mau tidak mau menurunkan derajat tempaan pada diri kita dalam menghadapi segala sesuatu dan pada gilirannya melemahkan kemampuan dan kemauan kita sendiri, termasuk dalam hal berpikir. Kita tidak mau lagi bersusah-susah memikirkan apa-apa yang tidak kita senangi(karena biasa bersenang-senang dengan kemudahan) dan ingat berpikir tentang hal yang tidak kita senangi adalah sesuatu yang menyulitkan. Pada akhirnya ini menggiring kita untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan saja dan bayangkan bagaimana kita bisa berpikir kritis jika keseharian hanya melakukan hal-hal yang bersifat kesenangan. Itulah kenapa kita perlu menempa diri kita sendiri agar mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang ada, termasuk dalam mengumpulkan dan menelaah secara mendalam berulang kali segala informasi di hadapan kita.
Uraian ini pastilah hanya sebagian dari penyebab-penyebab yang memungkinkan tidak berkembangnya nalar kritis manusia. Marilah kita kritis terhadap pemikiran kita sendiri sehingga bisa bertindak obyektif terhadap segala sesuatu yang ada di hadapan kita dan dengan demikian semoga kita bisa bertindak benar.
- Rahmad Ariadi, pengelola dan pemilik KRESNA Kampung Inggris