Oleh Komaruddin Hidayat
Kata orang, masyarakat kita senang ngobrol (chatting). Mungkin awalnya terkondisikan oleh faktor geografis dan kehidupan yang komunalistik, tinggal di daerah tropik yang subur, tidak menuntut kerja keras guna menjalani hidup. Akibat dari kenyamanan hidup yang dimanjakan alam ini maka banyak waktu senggang yang kemudian digunakan untuk menjalani ritual dan festival keagamaan serta mencipta karya seni. Lebih dari itu masyarakat nusantara ini terbiasa dan senang dengan acara kumpul, bincang-bincang santai, menghabiskan waktu untuk ngobrol.
Sementara budaya tulis-baca belum mapan, kita juga dibuat sibuk dan repot menghadapi penjajah. Dalam suasana tertindas melawan penjajah, maka bergerilya, mobilisasi massa, dan orasi agitatif bermunculan. Lagi-lagi, situasi ini memperkuat tradisi bicara-dengar (talking and listening) terutama dalam kegiatan dakwah keagamaan. Kita menyaksikan orator, singa podium dan juru dakwah yang mampu menyedot ribuan pendengar. Model komunikasi ini diperkaya lagi oleh acara mimbar agama di televisi sehingga bertambah lagi tradisi baru masyarakat kita, yaitu budaya menonton. Budaya menonton ini diperkuat lagi dengan ditemukannya teknologi rumah tangga, seperti mesin cuci, kulkas, dan peralatan lain sehingga ibu-ibu rumah tangga memiliki waktu senggang lebih banyak.
Yang sangat fenomenal adalah ditemukannya teknologi digital berbasis internet, yang pada urutannya mengubah pola komunikasi sosial secara drastis. Jadi, sementara tradisi baca tulis belum mentradisi kuat, sekarang difasilitasi lagi mengobrol lewat telepon dan medsos. Meskipun orang memiliki akun twitter maupun WhatsApp, dan orang asyik memainkan jarinya untuk menulis, namun yang berlangsung kebanyakan sebuah gaya obrolan lewat tulisan. Teknologi digital memang merupakan revolusi industri mutakhir, tetapi banyak dari kita yang menggunakan masih tetap bermental komunal yang senang ngrumpi, ngobrol dan ngegosip. Hanya sedikit yang memanfaatkannya untuk berburu e-book, e-novel, dan informasi ilmiah lainnya. Dengan memegang handphone, seseorang tidak saja difasilitasi untuk mengobrol, tukar menukar gossip dan photo, melainkan juga asyik tenggelam dalam sebuah permainan (game) yang tersedia dalam gadget. Bahkan pekerja rumahtangga pun sebagian gajinya dihabiskan untuk membeli pulsa. Bersamaan dengan berkembangnya pengguna handphone, omzet penerbitan dan penjualan buku cetak juga mengalami penurunan drastis.
Lemahnya tradisi baca tulis ditambah lagi oleh suasana politik yang mendominasi muatan media sosial, termasuk acara televisi. Setiap menjelang pilkada dan pemilu langit Indonesia seakan dipenuhi oleh wacana dan gossip politik yang menyedot perhatian dan emosi masyarakat sehingga budaya chatting dibumbui lagi perilaku cheating seperti halnya hoax. Situasi sosial diperparah lagi oleh membengkaknya angka pengangguran dan peredaran narkoba. Semua ini secara akumulatif semakin memperlemah budaya baca-tulis dan kerja keras. Tak terbayangkan, mereka yang suka teriak-teriak demo di jalan adalah generasi pembaca buku dan gemar menulis.
Jadi, teori dan sejarah revolusi industri tahap satu, dua, tiga dan empat yang berkembang di Barat, tidak berlaku di Indonesia. Keempat tahapan itu semuanya dijumpai dalam masyarakat Indonesia. Bahkan masih banyak masyarakat yang hidup pada era pra-industri. Oleh karenanya, jika era industri pertama yang besar dan kuat akan memakan bangsa yang lemah dan kecil, sekarang pada tahap tevolusi teknologi digital, siapa yang kreatif-inovatif dan cepat akan mengalahkan mereka yang lambat dan tidak inovatif. Kecepatan dan kemudahan hidup menjadi mantra dalam persaingan. Dalam dunia bisnis, keunggulan sebuah produk selalu mengacu pada kualitas unggul, harga murah, layanan cepat. Kalau kita terkecoh dengan hiruk pikuk politik lalu kita merasa asyik dalam ngobrol, bergosip, santai, kerja tidak optimal, bangsa ini pasti kalah dalam persaingan.
- Prof Dr Komaruddin Hidayat, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta